Medan – Kasus penangkapan dua jurnalis dari media lokal sorotdaerah.com oleh Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara menjadi sorotan tajam, terutama dari kalangan komunitas pers dan pegiat kebebasan berekspresi. Penangkapan ini dilakukan setelah kedua jurnalis tersebut diduga mencemarkan nama baik Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Irjen Paulus Waterpauw, melalui pemberitaan di media mereka. Namun, yang menjadi persoalan utama bukan hanya tuduhan pencemaran nama baik, melainkan cara aparat kepolisian menangani kasus ini yang dianggap mengabaikan aturan hukum terkait pers dan melanggar nota kesepahaman (MoU) antara Polri dan Dewan Pers.
Kronologi Penangkapan
Penangkapan terjadi setelah Polda Sumut merasa pemberitaan yang dimuat oleh sorotdaerah.com mengandung unsur pencemaran nama baik terhadap Kapolda Sumut, Irjen Paulus Waterpauw. Pihak kepolisian kemudian menggunakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai dasar hukum untuk menangkap kedua jurnalis tersebut.
Namun, tindakan polisi ini memicu gelombang kritik, terutama dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan. AJI menilai bahwa sengketa terkait pemberitaan yang dilakukan oleh jurnalis seharusnya diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, bukan dengan cara kriminalisasi menggunakan UU ITE.
“Proses ini jelas melanggar Undang-undang Pers dan MoU yang sudah disepakati antara Dewan Pers dan Polri. Dalam MoU tersebut, sudah ditegaskan bahwa setiap masalah yang menyangkut pemberitaan harus terlebih dahulu melalui proses penyelesaian di Dewan Pers,” ujar Ketua AJI Medan, Liston Damanik.
Pelanggaran terhadap Undang-undang Pers dan MoU Dewan Pers-Polri
Sejak penandatanganan MoU antara Dewan Pers dan Polri, telah ditetapkan bahwa kasus-kasus yang berkaitan dengan pers harus diselesaikan melalui Dewan Pers sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk menilai apakah sebuah pemberitaan melanggar kode etik jurnalistik atau tidak. Prosedur ini bertujuan untuk melindungi kebebasan pers serta memberikan ruang bagi media dan jurnalis untuk melakukan tugasnya tanpa ancaman kriminalisasi.
Namun, dalam kasus ini, Polda Sumut memilih untuk menempuh jalur hukum pidana melalui UU ITE, yang selama ini dikenal kontroversial karena sering disalahgunakan untuk menjerat individu yang menyampaikan pendapatnya di ruang publik. Padahal, UU Pers sudah dengan jelas memberikan perlindungan kepada jurnalis dan media dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya.
AJI menekankan bahwa UU ITE bukanlah instrumen yang tepat untuk menangani kasus-kasus terkait pemberitaan pers. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk mengawasi kerja jurnalis, Dewan Pers seharusnya dilibatkan dalam proses ini sebelum tindakan hukum dilakukan.
“Dalam MoU tersebut jelas bahwa Polri harus terlebih dahulu melibatkan Dewan Pers dalam setiap kasus yang melibatkan pers. Apa yang dilakukan oleh Polda Sumut ini merupakan pelanggaran terhadap MoU tersebut dan juga melanggar hak-hak jurnalis yang dilindungi oleh Undang-undang Pers,” lanjut Liston.
Koordinasi dengan “Dewan Pers Sumut”: Klaim yang Dipertanyakan
Kejanggalan lain dalam kasus ini muncul ketika pihak kepolisian mengklaim bahwa mereka telah berkoordinasi dengan “Dewan Pers Sumut” sebelum melakukan penangkapan. Pernyataan ini langsung mendapat bantahan keras dari AJI dan komunitas pers lainnya, karena tidak ada institusi bernama “Dewan Pers Sumut.”
Menurut penjelasan AJI, Dewan Pers adalah lembaga nasional yang beroperasi di tingkat pusat, bukan di tingkat daerah. Oleh karena itu, pernyataan polisi mengenai koordinasi dengan “Dewan Pers Sumut” dinilai sebagai informasi yang keliru atau upaya untuk menutupi kesalahan prosedural dalam penanganan kasus ini.
“Kami tidak mengetahui adanya Dewan Pers di Sumatera Utara. Koordinasi yang mereka maksud mungkin hanya sebatas komunikasi dengan beberapa individu, tetapi itu tidak bisa dianggap sebagai langkah yang sah sesuai dengan aturan MoU,” jelas Liston.
Kriminalisasi Pers dan Ancaman terhadap Kebebasan Jurnalis
Kasus penangkapan jurnalis seperti ini bukanlah yang pertama terjadi di Indonesia, dan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kebebasan pers yang seharusnya dilindungi justru semakin terancam oleh tindakan represif aparat penegak hukum. Penggunaan UU ITE untuk menjerat jurnalis dalam kasus-kasus pemberitaan sering dianggap sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan pers.
Padahal, jurnalis memiliki peran penting dalam masyarakat sebagai penyampai informasi dan pengawas kekuasaan. Dalam menjalankan peran ini, mereka harus dilindungi dari ancaman kriminalisasi yang bisa membungkam kritik atau menghalangi mereka untuk mengungkapkan kebenaran.
Ketua AJI Medan menyatakan bahwa penangkapan ini menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara. Jika polisi terus-menerus menggunakan UU ITE untuk menjerat jurnalis, maka akan semakin banyak jurnalis yang takut untuk memberitakan fakta atau menyampaikan kritik yang sebenarnya.
“Ini bukan sekadar masalah hukum, tetapi juga soal kebebasan berekspresi dan peran jurnalis dalam demokrasi. Jika jurnalis takut untuk menulis atau menyampaikan kritik, maka yang rugi bukan hanya media, tetapi juga masyarakat yang kehilangan akses terhadap informasi yang independen dan akurat,” tutup Liston.
Kesimpulan: Pentingnya Perlindungan bagi Jurnalis
Kasus penangkapan dua jurnalis di Sumatera Utara menunjukkan masih adanya ketidakpahaman atau bahkan ketidakpatuhan terhadap aturan hukum yang melindungi pers di Indonesia. Penegakan hukum yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat, justru menjadi ancaman bagi kebebasan pers ketika tidak mengikuti prosedur yang benar.
Perlindungan bagi jurnalis bukanlah hak istimewa, melainkan bagian penting dari upaya menjaga kebebasan informasi dan menjaga keseimbangan demokrasi. Oleh karena itu, penegak hukum perlu lebih memahami dan menghormati UU Pers serta MoU antara Polri dan Dewan Pers dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan media. Hanya dengan cara ini, kebebasan pers di Indonesia dapat terus berkembang tanpa ancaman kriminalisasi.